Jumat, 21 April 2017

Haul Buntet 2017, Meniti Hati Menata Jiwa (3)


Di Masjid Komplek Makam Sunan Gunung Djati. Foto: Ahmad Nasrudin Yahya


"Nanti gue mau ke Guest House dulu. Terserah, kalian mau nunggu atau gimana. Atau, mau ke kamar gue silakan. Tapi kalau Uyay (Yahya) malem ini mau tidur di rumah Bang Fadhol, gak apa-apa," celotehku saat di motor menuju Buntet, sepulang dari ziarah Sunan Gunung Djati.

"Iya, santai. Lihat nanti aja, Ru," kata Yahya sembari fokus memperhatikan jalan yang gelap. Dia memang harus fokus. Selain kondisi jalanan yang minim lampu, dia juga membawa beban 2 orang yang dibonceng. Kalau abai dan lalai, peristiwa yang tidak diharapkan pasti terjadi.


Dingin kian menggigit. Gigil seperti mencabik kulit hingga menembus tulang. Malam itu, sehabis diguyur hujan, Cirebon sangat dingin. Ada dua hal yang mesti dilawan pada malam Jum'at (13/4) yang hampir habis itu. Pertama, kekhawatiran sebab jalanan yang sepi dan gelap. Kedua, hawa dingin yang semakin menjadi-jadi.

Perjalanan memakan waktu hampir satu jam. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.15 WIB. Sementara aku harus menepati janjiku pada Syakir. Membuat berita untuk Website Buntet Pesantren Cirebon. Aku mendatanginya di Guest House dekat Pondok Al-Firdaus dan Masjid Agung Buntet. Di sana, pendekar dekor sedang bertarung melawan kantuk guna menyempurnakan malam puncak.

Aku menyalami satu per satu; setiap orang yang ada di sana. Baru kali ini aku melihat langsung proses dekorasi yang sedemikian rumit, bagiku. Sebab, belum tentu aku mampu memroses hal tersebut. Menguras tenaga sudah pasti. Kemudian juga memerlukan kreativitas dan keterampilan yang sangat baik. Dua hal itu, yang hampir mustahil aku mampu.

Setelah memperhatikan para pendekar dekor yang hebat itu, aku menghampiri Syakir. Dia memberikan rekaman sambutan KH Adib Rofiudin dan Presiden Jokowi Dodo. Aku mesti membuat berita dari bahan yang diberikan itu. Lantas, dia mengirimnya. Aku bilang, "Kalo lagi rame gini, gue susah bikin berita. Besok aja, yak." Tak menunggu lama, dia mengiyakan.

Tidak lama, Sri Mandah Syakiroh datang. Dia pribumi. Masih punya hubungan darah dengan tokoh atau para ulama di Buntet. Walau demikian, dia selalu marah kalau ada pembahasan soal keturunannya yang seperti itu. Aku mengenalnya baru beberapa bulan. Dari silaturahmi antar-komunitas. Dia dari Komunitas Ranggon Sastra Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. Sementara aku dari Teater Korek Universitas Islam 45 Bekasi.

Hal yang selalu mengundang tawa dari setiap perbincangan kami adalah, baru saling kenal beberapa bulan yang lalu. Sejujurnya, bukan Buntet yang mempertemukan kami, tapi justru dari organisasi kesenian. Lucu. Akhirnya, malam itu kami membicarakan segala sesuatu berkaitan dengan kesusastraan, kesenian, dan teater. Masing-masing diri bercerita soal perjalanannya di kesenian.

"Ru, gue malem ini tidur di rumah Fadhol aja, ya," Yahya membisik.

"Oh, oke. Maap ya. Tapi kalo lu mau ke kamar gue gak apa-apa, kok. Langsung aja masuk," sahutku.

"Enggak usah, Ru. Gue juga mau nulis naskah berita di tempat Fadhol," kata Yahya sembari bersalaman tanda bergegas pergi.

Malam itu, pembahasan dengan Mandah, sapaan akrab Sri Mandah Syakiroh, kian mendalam. Ada banyak hal yang diperbincangkan. Sampai tak sadar, hari sudah berganti. Aku harus segera istirahat. Merebahkan diri. Kalau tidak, besok pasti nge-drop. Sembari beberes dan memakai kembali jaket. Aku pamit. Mandah dan Syakir pun sama. Mereka akhirnya pulang juga.

Sesampainya di kamar. Aku tidak langsung tidur. Tapi mendengarkan rekaman audio yang Syakir kirim tadi. Akhirnya, aku berhasil memproduksi satu berita. Kemudian diunggah ke Website Buntet Pesantren, buntetpesantren.org pada Jum'at (14/4).

Usai merampungkan satu naskah berita, kurang lebih jam 2 dinihari, aku tidur.


Saat sowan ke ndalem KH Nahdudin Royandi Abbas bersama rekan-rekan Forsila BPC Jakarta Raya.

Suara adzan subuh menggema. Aku terbangun. Karena memang, jarak antara kamarku dengan musala sangat dekat. Usai salat berjama'ah, aku kembali ke kamar. Tubuhku masih sangat berat untuk digerakkan. Pegal-pegal, pasti. Maka, tidur menjadi jalan satu-satunya untuk memulihkan kembali daya tahan tubuh.

Tepat pukul 11.00 WIB, aku bangun. Mandi. Kemudian berangkat salat Jum'at di Masjid Agung Buntet. Satu hal yang sangat kurindukan adalah salat berjama'ah dengan sekaligus bertemu para ulama dan berkesempatan mengecup punggung tangannya. "Berkah," batinku. Aku melihat KH Hasan Kriyani yang kemudian kukecup tangannya. 


Pukulan bedug, juga merupakan hal yang kurindukan. Sebab di perkotaan, budaya yang ditularkan oleh Islam Nusantara ala Walisanga saat menyebarkan agama itu sudah hilang. Bedug menjadi ciri dari kebudayaan Islam di Indonesia. Ini bukan soal bid'ah yang dholalah dan kemudian masuk neraka. Akan tetapi mengenai sebuah penghormatan terhadap sejarah perkembangan Islam di Indonesia. Yakinku, Nabi Muhammad pasti bahagia melihat Islam Indonesia yang ramah-ramah, bukan yang hobinya marah-marah.


Usai salat Jum'at, Syakir menghubungiku. Dia mengajak sowan ke Sesepuh Pondok Buntet Pesantren, KH Nahdudin Royandi Abbas atau Mbah Din. Beliau tinggal di London, Inggris. Sekitar 2 minggu sebelum malam puncak Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Buntet Pesantren Cirebon, beliau kembali. Pulang ke kampung halaman. Rumahnya tak pernah sepi. Keluarga dan santrinya berdatangan. Mengharap sebuah keberkahan atau sekadar mendengar cerita dan petuahnya yang menyejukkan.


"Langsung aja ke rumah yang di belakang Pondok Darul Hijroh dan belakang MTs NU Putri 3," kata Syakir dalam pesan singkatnya.


Aku dan Yahya datang agak telat karena ada urusan terlebih dulu. Syukur, masih diterima. Di sana sudah ramai. Rekan-rekan Forum Silaturahim Buntet Pesantren Cirebon (Forsila BPC) Jakarta Raya sudah datang lebih awal. Masing-masing diri, ditanya asal dan kesibukannya. Setelah berkenalan satu per satu, Mbah Din membuka pembahasan.


Beliau bercerita soal sejarah perang dunia kedua. Kemudian sikap Indonesia yang netral. Tidak mendukung blok barat dan timur. Sebab pada saat itu, Indonesia juga sedang berada dalam lingkaran penjajah. Maka, hal yang menjadi fokus utama adalah bukan dengan terjun ke peperangan antar kedua poros yang berkepentingan, tapi bagaimana caranya agar lepas dari penjajah yang tidak manusiawi.

Politik ala Belanda, yakni Devide et Impera seperti sudah mendarah-daging. Hal itu disebabkan terlalu lama mereka menduduki dan mempengaruhi kehidupan manusia Indonesia. Hingga saat ini, perilaku adu-domba dan bertengkar karena berbeda pandangan masih terus terjadi. Sesama anak bangsa diributkan karena berbeda pilihan politik. Saling cibir tak terbantahkan. Bahkan, penolakan memandikan jenazah dan ancaman pembunuhan menjadi senjata utama untuk menyeragamkan keberagaman.

"Di negara kita yang kaya ini ada satu hal yang sangat disayangkan. Yaitu, orang yang jujur, tulus, dan ikhlas untuk memperbaiki keadaan bangsa, atau memberantas korupsi pasti dijauhkan. Dimusuhi. Bahkan, disingkirkan karena banyak kepentingan. Padahal, untuk memimpin sebuah negara yang berlandaskan Pancasila ini, yang dibutuhkan bukan semata-mata agama. Akan tetapi kejujuran dan ketulusannya. Kalau ada pemimpin yang seperti itu, sebentar saja Indonesia pasti makmur," kata Mbah Din di hadapan para santri yang mendengarkan secara saksama.


Sesi foto bersama dengan Mbah Din

Manggut-manggut sembari mengucap lirih kata "enggih" menandakan bahwa orang-orang yang berada di hadapan Mbah Din merespon dengan sangat baik. Kemudian, beliau berpesan kepada para santri agar giat membaca. Perpustakaan, toko buku, dan gramedia harus sering-sering didatangi. Jangan sampai terlena dengan perkembangan zaman yang serba instan ini.

"Bahkan, sekarang kita bisa unduh buku dari gadget. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak membaca," ucap Mbah Din dengan menampilkan gaya bicara yang sangat menyejukkan.

Kurang-lebih satu setengah jam kami bertatap muka dengan tokoh yang paling dimuliakan itu. Beliau ingin melihat proses khitanan massal yang menjadi rangkaian kegiatan Haul Buntet 2017. Karena itu, dengan kerendahan hatinya, beliau memohon maaf dan kemudian pamit. Pertemuan ditutup dengan sesi foto. Kesahajaannya membuat kami, para santri, gembira bukan main. Walau sudah sepuh, beliau tidak segan-segan berseloroh.

"Seperti inilah, wajah Islam yang dibawa Rasulullah dan kemudian dikembangkan di Indonesia. Islam ala Nusantara. Penuh kesantunan, kasih sayang, memberi kesejukan. Bukan dengan menampilkan amarah yang berlebihan sehingga memantik api kebencian dalam diri," batinku saat berjalan menuju pondok.

Sementara Yahya kembali bertanya-tanya mengenai sosok yang mulia itu.



(Bersambung)




Bekasi Utara, 21 April 2017



Aru Elgete
Previous Post
Next Post

0 komentar: